Nilai Sosial Budaya Indonesia Yang Disajikan Ke Karya Sastra

Nilai Sosial Budaya Indonesia Yang Disajikan Ke Karya Sastra – Secara umum Sastra merupakan kata serapan dari bahasa Sanskerta, yang berarti “teks yang mengandung instruksi” atau “pedoman”, dari kata dasar sas- yang berarti “instruksi” atau “ajaran”.

Dalam bahasa Indonesia kata ini biasa digunakan untuk merujuk kepada “kesusastraan” atau sebuah jenis tulisan yang memiliki arti atau keindahan tertentu. Sastra dapat dibagi dua yaitu sastra tulis atau sastra lisan. slot gacor

Penyampaian Sastra

Dengan bahasa yang mudah dipahami saya mendefinisikan Sastra adalah hasil proses kreatif manusia yang menghasilkan karya dengan media bahasa yang memenuhi unsur estetika atau keindahan. Alat untuk menyampaikan sastra atau disebut Moda yaitu Sajak dan Prosa, sedang genrenya adalah Puisi, Esai, Fiksi, dan Drama. americandreamdrivein.com

Peran pemerintah dalam mengembangkan Sastra Indonesia tercermin dalam Rencana Strategis (Renstra) Pemerintah dalam mengembangkan sastra ada dalam Renstra Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa 2015-2019 yang merupakan penjabaran dari Renstra Kementerian Pendidikan dan kebudayaan 2015-2019.

Sesuai dengan visi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yaitu : “Terwujudnya insan berkarakter dan jati diri bangsa melalui bahasa dan sastra indonesia”,

Nilai Sosial Budaya Indonesia Yang Disajikan Ke Dalam Karya Sastra

Salah satu hasil dari kebudayaan adalah karya sastra, tetapi secara garis besar sastra merupakan hasil karya dari individu hanya saja objek yang disampaikan tidak akan terlepas dari kebudayaan dan kehidupan sosial masyarakat. Dengan demikian dapat juga dinyatakan bahwa kebudayaan yang mempunyai cakupan yang luas dan kompleks dapat tercermin dalam karya sastra.

Karya Sastra Dalam Kehidupan

Sastra merupakan pencerminan budaya suatu masyarakat. Melalui karya sastra, seorang pengarang mengungkapkan problema kehidupan yang pengarang sendiri ikut berada di dalamnya. Karya sastra menerima pengaruh dari masyarakat dan sekaligus mampu memberi pengaruh terhadap masyarakat.

Bahkan seringkali masyarakat sangat menentukan nilai karya sastra yang hidup di suatu zaman, sementara sastrawan sendiri adalah anggota masyarakat yang terikat status sosial tertentu dan tidak dapat mengelak dari adanya pengaruh yang diterimanya dari lingkungan yang membesarkan sekaligus membentuknya.

Kajian yang erat kaitannya dengan Sastra dan budaya ini adalah kajian Sosiologi sastra. Istilah “sosiologi sastra” dalam ilmu sastra dimaksudkan untuk menyebut para kritikus dan ahli sejarah sastra yang terutama memperhatikan hubungan antara pengarang dengan kelas sosialnya, status sosial dan ideologinya,

kondisi ekonomi dalam profesinya, dan model pembaca yang ditujunya. Mereka memandang bahwa karya sastra (baik aspek isi maupun bentuknya) secara mudah terkondisi oleh lingkungan dan kekuatan sosial suatu periode tertentu.

Dokumenter Sastra

Demikianlah, pendekatan sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan.

Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra.

Dalam hal sastra sebagai cermin budaya masyarakat tentu kita harus juga melihat konteks ruang dan waktu. Karena ciri-ciri suatu masyarakat, kondisi sosial, adat istiadat, dan budaya-budaya masyarakat lainnya yang ditulis dalam karya sastra tentu sesuai dengan situasi dan kondisi saat karya sastra tersebut lahir.

Selain sebagai cermin budaya masyarakat, maka hal lain yang menarik untuk dibahas adalah sastra dalam hal ini Sastra Indonesia diciptakan, tumbuh dan berkembang dari budaya Indonesia yang beraneka ragam.

Moda Dan Genre Sastra

Oleh karena itu, keberadaan sastra di Indonesia pun beraneka ragam, mulai keragaman gaya ungkap bahasa, tokoh, mitologi, hingga ke masalah sosial, politik, dan budaya etnik.

Moda dan genre sastra di Indonesia yaitu prosa, sajak, puisi, esai, drama dan fiksi menjadi lebih kaya tema dan gaya ungkap bahasa yang spesifik karena ada dongeng, legenda, mitos, epos, tambo, hikayat, syair, pantun, gurindam, macapat, karungut, mamanda, dan geguritan.

Keberagaman moda dan genre sastra tersebut juga menyebabkan keberagaman dalam hal gaya ungkap, tokoh yang ditampilkan, semangat mitologi yang mendasari, serta masalah sosial, politik, dan budaya etnik dari sastrawan daerah yang menuliskan karya tersebut.

Keberadaan sastra Indonesia yang beragam ini tentu tidak terlepas dari adanya keberagaman bahasa daerah di Indonesia. Memang kalau kita lihat dan analisa Bahasa Indonesia merupakan sarana utama pengucapan sastra Indonesia, meskipun Bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua, setelah bahasa ibunya.

Tataran Situasi

Hal ini memberikan sebuah konsekuensi bahwa dalam karya sastra yang mereka tulis terdapat sejumlah kosakata, frasa, dan kalimat bahasa daerah. Hal itu dimungkinkan karena masyarakat Indonesia berada dalam tataran situasi bilingual atau multilingual.

Nilai Sosial Budaya Indonesia Yang Disajikan Ke Dalam Karya Sastra

Bahasa ibu yang dikuasai secara intuitif adalah bahasa daerah sehingga konsep pemahaman tentang alam semesta, lingkungan tempat tinggal, sistem kekerabatan, tata ekosistem kemasyarakatan, dan falsafah hidup yang diajarkan oleh leluhur atau nenek moyangnya akan terasa kental dengan bahasa daerahnya ketika pengarang menulis dengan bahasa Indonesia.

Bahasa daerah tersebut mewarnai bahasa Indonesia. Bahasa daerah itu sengaja digunakan karena bahasa Indonesia tidak mampu mewadahi konsep, tujuan, dan maksud bahasa daerah. Ada semacam hambatan atau kesukaran menerjemahkan beberapa kosakata khas bahasa daerah itu ke dalam bahasa Indonesia.

Bahasa Daerah

Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika pengarang begitu saja mengambil kosakata bahasa daerah sebagai khazanah bahasa Indonesia. Hal itu terjadi pada beberapa pengarang sastra Indonesia, seperti , Ahmad Tohari, Umar Kayam, YB.

Mangunwijaya yang banyak mengambil kosakata bahasa jawa pada karya-karya novelnya. Penyair Amir Hamzah dengan kosa kata Melayu Arkais pada kumpulan sajaknya Nyanyi Sunyi dan Buah Rindu, dan Bokor Hutasuhut dengan kosa kata bahasa bataknya.

Selain itu, jika kita elaborasi maka banyak karya sastra yang mengangkat budaya lokal daerah. Hal ini dapat disebabkan sejak awal kelahirannya, awal abad XX, sastra Indonesia bersumber pada budaya daerah itu sendiri,

misalnya roman Balai Pustaka, Siti Nurbaya (Marah Rusli, 1922, Darah Muda (Adinegoro, 1927), Salah Asuhan (Abdoel Moeis, 1928), dan Tenggelamnya Kapal van der Wijck ( Hamka, 1938) mengangkat unsur adat masyarakat Minangkabau.

Penggalian nilai-nilai budaya daerah juga ada pada pengarang-pengarang di jawa seperti Linus Suryadi A.G. (Pengakuan Pariyem, 1981, Umar Kayam (Sri Sumarah dan Bawuk, 1975; Para Priyayi, 1992, Y.B. Mangunwijaya (Burung-Burung Manyar, 1983; Roro Mendut, 1984, Genduk Duku, 1987, dan Ahmad Tohari (Ronggeng Dukuh Paruk, 1980),

menghadirkan persoalan-persoalan dalam adat istiadat dan budaya jawa. Sedang pengarang-pengarang yang sering menulis dengan tema budaya Sunda, jawa barat misalnya Ajip Rosidi, Ramadhan K.H., dan Achdiat Kartamihardja melalui novel dan cerita pendek yang ditulisnya.

Kumpulan Puisi

Dalam puisi budaya lokal atau daerah madura juga sering digunakan sebagai gagasan atau tema oleh si Penyair Celurit Emas D. Zamawi Imron. Dakam buku-buku kumpulan puisinya seperti : Madura Akulah Lautmu (1978), Celurit Emas (1980), Bantalku ombak selimutku angin (1996).

Sedangkan budaya “suroboyoan” juga menginspirasi dan kemudian dieksplorasi Oleh Sastrawan Shoim Anwar, seperti sebuah judul dari kumpulan cerpen “Perempuan Terakhir” yang menceritakan keseneian Ludruk, dengan judul Awak Ludru. Dalam cerpen ini, penulis memberikan gambaran tentang pementasan ludruk dengan sejarah-sejarahnya.

Dari daerah lain di luar Sumatera dan Jawa pun kita temukan, misalnya dari Bali kita temukan Oka Rusmini dalam novelnya Sagra (1996) dan beberapa cerpennya yang dimuat dalam Horison, seperti “Sang Pemahat” (2000), menggali nilai budaya Bali ke dalam karya sastra Indonesia modern.

Pengarang Dari Bali

Pengarang lain dari Bali, yaitu Rasta Sindhu (Sahabatku Hans Schmitter, 1968), Faisal Baraas (Sanur Tetap Ramai, 1970), Putu Wijaya (Tiba-Tiba Malam, 1972, dan Dasar, 1993), Ngurah Persua (Tugu Kenangan, 1984), dan Aryantha Soethama (Suzan, 1988).

Dari daerah Nusa Tenggara kita menemukan Putu Arya Tirtawirya, Gerson Poyk, dan Otto J. Gaut, yang juga mengekspresikan nilai budaya, yaitu nilai budaya Nusa Tenggara.